CRC: Pilkada Cianjur Kemungkinan Tanpa Petahana

CRC: Pilkada Cianjur Kemungkinan Tanpa Petahana

CIANJUR.Maharnews.com- Direktur Cianjur Riset Center (CRC) Anton Ramadhan sebut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Cianjur 2024 kemungkinan tanpa petahana (Bupati Cianjur Herman Suherman). 

Apa yang disampaikan pengamat kebijakan publik asal Cianjur itu menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 02/PUU-XXI/2023 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang yang diajukan oleh Edi Damansyah Bupati Kutai Kartanegara. 

"Bupati Cianjur Herman Suherman dan Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah ini memiliki kesamaan. Saat menjabat sebagai wakil bupati, bupatinya sama-sama tersandung hukum. Keduanya (Herman dan Edi) pernah menjalani plt bupati, bupati definitif dan terpilih menjadi bupati. Jika melihat putusan MK, keduanya sudah menjalani dua periode," ujarnya kepada wartawan, Selasa (14/5/2024) 

Anton menilai, Herman sudah menduduki jabatan sebagai Bupati Cianjur selama dua periode dan otomatis tidak bisa mencalonkan diri lagi sebagai calon bupati pada Pilkada serentak 2024. 

Periode pertama Herman, lanjut Anton, dihitung satu periode karena menjabat selama 2 tahun 6 bulan yaitu terhitung sejak menjabat sebagai Plt Bupati pada 14 Desember 2018 sampai dengan 18 Mei tahun 2021. 

"Sedangkan periode kedua terhitung sejak 18 Mei tahun 2021 sampai dengan selesai nanti pada saat pelantikan bupati hasil pilkada 2024.paparnya. 

Terkait adanya pendapat yang menyebutkan Herman untuk periode pertama belum menjabat selama 2 tahun 6 bulan atau lebih karena hanya menjabat sebagai Plt Bupati Cianjur dan tidak menjabat sebagai Bupati Definitif, menurutnya, pendapat tersebut terbantahkan dengan adanya putusan MK Nomor 02/PUUXXI/2023 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang yang diajukan oleh Edi Damansyah, Bupati Kutai Kartanegara. 

Seperti diketahui, Edi menguji secara materiil Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). 

Ia mendalilkan kehilangan hak konstitusional yang dberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pemohon mempersoalkan hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak tegas dan tidak konkretnya suatu undang-undang yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada karena terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda. 

Dalam sidang pengucapan putusan tersebut, berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah. 

Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 17 November 2009 yang menyatakan masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih. 

Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan, setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. 

Selain itu berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah, MK dalam putusannya mengacu pula pada putusan MK lainnya yaitu Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 November 2009 yang menyatakan, masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan, yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan, setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. 

"Meski sekarang muncul pendapat bahwa pelaksana tugas tak bisa dihitung sebagai periode, namun sejumlah pendapat tersebut tak bisa mengubah putusan MK," pungkas Anton.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE