Demokrasi Yang Membungkam Suara Kritis Rakyat?

Demokrasi Yang Membungkam Suara Kritis Rakyat?

Foto : Ilustrasi.


Maharnews.com- Akhir-akhir ini dapat kita lihat bahwa ketertarikan masyarakat kepada politik kian menurun, sekalinya ada yang menyuarakan pendapat atau pandangannya justru malah diabaikan. 

Sebenarnya ada apa dengan sistem politik demokrasi kita ini? Apakah pengertian demokrasi yang dikatakan ialah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sudah benar demikian?

Berikut ciri-ciri sistem politik demokrasi menurut Bingham Powel, Jr yaitu :

1). Pemerintah mewakili keinginan rakyat dan hukum tertinggi disusun berdasarkan atas apa yang dibutuhkan serta dikehendaki oleh rakyat, pemerintah dan anggota parlemen wajib patuh terhadap hukum tersebut.

2). Perundingan untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetetif. Pemilihan umum diadakan untuk memilih atau menentukan suatu peraturan baik itu perundang-undangan atau keputusan wakil rakyat yang dilakukan dengan persaingan yang adil dan juga jujur. 

3). Sebagian orang yang telah mencapai batas umur dan memenuhi syarat-syarat tertentu dapat ikut serta dalam proses pemilihan maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.

4). Masyarakat menyuarakan pilihannya secara rahasia dan tanpa adanya paksaan.

5). Masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers (berhak serta bebas dalam menyuarakan pendapat atau aspirasinya).

Berdasarkan ciri-ciri diatas dapat dilihat pada point nomor 5 bahwa rakyat mempunyai hak atas kebebasan berbicara, berkumpul maupun menyampaikan pendapatnya.

Secara prinsip kebebasan itu tidak boleh diatur. Menyampaikan pendapat itu legal atau sah selama ia tidak mengajak atau mempengaruhi orang untuk melakukan tindak kekerasan.

Namun mengapa hak yang sudah jelas milik rakyat tetapi rakyat malah merasa tidak mampu menggunakan hak tersebut? Survei indikator politik Indonesia pada tahun 2020 mencatat sebanyak 69,6% responden setuju atau sangat setuju bahwa kini rakyat semakin takut untuk menyuarakan pendapat. 

Juga bisa dicermati "Setidaknya terdapat 132 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi sepanjang 2020 dengan 157 korban menggunakan dugaan kriminalisasi baik menggunakan pasal dalam UU ITE maupun KUHP," ujar peneliti Amnesty International Indonesia (sebuah organisasi non pemerintah internasional yang mempunyai tujuan memperkenalkan seluruh HAM yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right serta standar lainnya), Ari Pramuditya dalam konferensi pers, Rabu (7/4/2021).

Ari berkata pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi termasuk yang dialami beberapa jurnalis adalah berupa serangan digital dan ancaman kriminalisasi.

Intimidasi digital dilakukan yaitu bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan upaya membungkam suara kritis rakyat.

Lalu menurut Ari, berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ada 56 kasus ancaman kriminalisasi yang juga terjadi kepada jurnalis. 

Dalam kasus tersebut, jurnalis mendapat kekerasan lantaran mendokumentasikan penyampaian protes masyarakat dalam aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja.

Sepanjang tahun 2020 disebutkan juga terjadi peningkatan jumlah orang yang dihukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap pemerintah atau dituduh menyebarkan berita bohong. 

Hal ini diduga terjadi karena penerapan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang tidak sesuai, yang menjadi salah satu ancaman terbesar dalam kebebasan berekspresi.

Selain itu pula ada permasalahan ‘penghapusan mural’ yang dibuat oleh para seniman yang kemudian menjadi pembicaraan hangat sejak bulan agustus, dimana mereka atau para seniman mengekspresikan pemikirannya melalui karya seni berupa mural diberbagai daerah.

Lalu mengapa keberadaan mural tersebut kemudian dihapus oleh para aparat karena dianggap menggangu dan melanggar aturan.

Bahkan polisi pun menyebutkan akan menangkap para seniman karena mereka dianggap tidak menghormati lambang negara, tidak bersikap nasionalis.

Padahal karya tersebut merupakan hak rakyat untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Rakyat mempunyai hak untuk itu, hak kebebasan berekpresi, berpendapat.

Menurut peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari mengatakan bahwa secara hukum penghapusan mural itu tidak termasuk salah satu bentuk sanksi (tidak ada dasarnya). 

Namun jika kita melihat dari konteks tindakan bukan dari dalam hukum pidana, maka tindakan aparat itu jelas menjadi tanda adanya pembungkaman dari hak kebebasan berekspresi. 

Wirya Adiwena, Deputi Amnesty International pun menganggap tindakan aparat sangat tidak tepat karena menurutnya hal itu justru akan membangun efek gentar yang membuat orang enggan untuk mengungkapkan pendapat yang kritis.

Jika demikian mengapa aparat bisa dengan mudah menghapus serta menangkap para seniman padahal pasal tentang penghinaan terhadap presiden sudah dihapus. 

Dan yang tersisa hanyalah pasal penghinaan individu dimana prosesnya harus dengan orang yang bersangkutan, korban yang harus melaporkan pelaku kepada pihak kepolisian. 

Jelas sekali bahwa posisinya jauh berbeda atau tidak selaras apa yang terdapat pada teori dengan apa yang terjadi di lapangan.

Kritik yang muncul dari para rakyat kepada pemerintah seharusnya dianggap menjadi nilai atau hal yang positif, dimana hal tersebut adalah sebagai bukti nyata bahwa rakyat itu masih peduli dengan pemerintahan atau urusan negaranya sendiri.

Jika tidak ada kritik malah akan berbahaya bagi negara di masa depan. Mengapa demikian? karena kepedulian masyarakat telah hilang, tidak ada penerus bangsa yang kedepannya akan membangun negara jika masyarakatnya bersikap apatis, tidak bersimpati atau munculnya represi yaitu usaha untuk meredam keinginan, hasrat, atau instingnya sendiri.

Pada intinya partisipasi warga negara atau para rakyat dalam politik demokrasi dimana mereka memiliki hak memilih dan ikut serta dalam proses penyelenggaraan negara baik dalam tingkat nasional, provinsi ataupun kota dan kabupaten masih sangat terbatas atau sulit karena pemerintah sendiri masih tidak terbuka kepada rakyatnya atau tidak bersifat transparan.

Maka dari itu akankah lebih baik jika pemerintah lebih terbuka kepada rakyat dimana keterbukaan dan hak rakyat itu juga timbul dari adanya demokrasi yang kita gunakan dalam sistem pemerintahan negara ini.

Penulis Oleh : Shavira Dwi Yasmin






Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE