Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

100 Hari Bupati Cianjur Bersama Sang Mantan

100 Hari Bupati Cianjur Bersama Sang Mantan

Foto : Bupati Cianjur M Wahyu Ferdian saat memberikan sambutan di acara pelantikan pengurus PWI Cianjur periode 2025-2028 di hotel Cianjur


CIANJUR.Mahaenews.com - Seratus hari adalah waktu yang pendek bagi sejarah, tapi cukup panjang untuk melihat arah angin. 

Di Cianjur, angin perubahan seolah sempat berembus ketika Wahyu dilantik menjadi bupati. Wajah muda, semangat baru, dan janji akan perbaikan. 

Namun sebagaimana pentas lama yang hanya diganti aktornya, panggung itu nyatanya tak banyak berubah. Lampu sorot memang diarahkan ke Wahyu, tapi bayang-bayang di belakangnya terlalu tebal untuk diabaikan. 

Wahyu tampil dengan gaya yang akrab, terlalu akrab. Cara ia menyapa warga, bahasa tubuhnya di pasar, sampai diksi “gotong royong”yang terus diulang, mengingatkan pada Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat, tokoh yang gemar menyulap politik menjadi pertunjukan rakyat. 

Dalam dunia politik, ini disebut populisme, sebuah seni bermain di antara simbol, citra, dan sentimen massa. Tapi seperti kata Milan Kundera, “Semua sandiwara yang terlalu mirip kehidupan justru kehilangan kedalaman.”Begitu pula dengan kepemimpinan yang terlalu sibuk meniru, hingga lupa untuk menjadi diri sendiri. 

Namun Wahyu bukan hanya berhadapan dengan dirinya yang belum utuh. Di balik setiap langkahnya, ada bayang yang tak pernah benar-benar surut: Sang Mantan yang pernah memerintah Cianjur, kemudian pergi bersekolah lebih tinggi mendalami korupsi

Kini, meski secara hukum tak lagi berkuasa, ia disebut-sebut masih menjadi dalang di balik layar, tangan yang tak terlihat namun terasa. 

Inilah yang dalam teori Guillermo O’Donnell disebut sebagai delegative democracy, ketika pemimpin terpilih hanyalah delegasi dari kekuasaan lama, bukan wujud kedaulatan rakyat. 

Seperti wayang yang tali kendalinya dipegang oleh dalang yang sama, hanya dengan wajah baru dan cerita sedikit diubah. 

Di kampung-kampung, warga mulai bergumam lirih:  “Wahyu nu jadi bupati, tapi nu ngatur Mantan.” 

Sebuah kalimat sederhana yang menyimpan ironi: demokrasi prosedural telah bekerja, tetapi jantung kekuasaan belum berganti. 

Gorol kembali digerakkan, tetapi getarannya belum sampai ke akar. Jalan-jalan masih menanti tambal sulam, dan birokrasi masih menanti arah. Seratus hari pertama ini seperti pertunjukan yang cantik di muka, tapi remang-remang di balik tirai. 

Jika Wahyu ingin keluar dari bayang-bayang itu, ia tak cukup berdiri di atas panggung. Ia harus menulis naskahnya sendiri. Ia harus berani mematikan mikrofon sang mantan. Kepemimpinan bukan hanya soal hadir, tetapi soal menebas jejak lama yang membelenggu. 

Cianjur tidak butuh aktor yang baik. Ia butuh pemimpin yang berani. Dan keberanian yang paling besar, adalah menepis bayang Sang Mantan yang pernah mencederai kepercayaan publik. 

#Fatha Manggala




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE