Ini Kata Jaksa KPK Soal Gratifikasi dan Haji ABIDIN

Foto : Jaksa KPK Ali Fikri saat menanggapi konfirmasi awak media seusai sidang Korupsi DAK Kabupaten Cianjur.
BANDUNG. Maharnews.com- "Gratifikasi itu memberikan sesuatu berupa barang, uang atau sesuatu yang bernilai. Pokoknya beberapa hal yang memberikan kesenangan kepada seseorang karena dia menanamkan jasa, intinya begitu,"terang Ali Fikri salah seorang Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penjelasan tersebut disampaikan Ali Fikri saat ditemui di PN Bandung seusai persidangan perkara korupsi DAK Cianjur dengan terdakwa Bupati Cianjur nonaktif Irvan Rivano Muchtar, belum lama ini.
Memperjelas apa yang diterangkannya, Ali kemudian mencontohkan gambaran yang dimaksud dengan gratifikasi.
"Misalkan begini, akang memberi saya uang atau sesuatu yang bernilai agar saya merasa senang. Kita tidak ada hubungan perkara, tidak ada hubungan apa apa lah intinya. Tapi suatu saat, kalau kemudian nanti berurusan dengan saya, akang berkepentingan dengan saya. Nah yang seperti itu dinamakan gratifikasi, karena pada saat memberikan sesuatu itu karena melihat jabatan saya. Tapi bukan karena tugas dan kewenangan saya pada saat ini,"terang Ali.
Beda dengan misalnya kalau pemberian itu pada saat ada perkara dan posisinya saya sebagai jaksa sambung Ali.
"Ketika anda bertemu lalu berurusan dengan saya, nah yang seperti itu namanya suap, bukan gratifikasi,"tegasnya.
Ali kembali menegaskan, gratifikasi itu sebuah pemberian yang tidak ada urusannya, tetapi si pemberi tahu kalau saya seorang jaksa. Suatu saat akan menolong saya. Nah itu gratifikasi, makanya gratifikasi itu di laporkan ke KPK.
Seharusnya tegas Ali, sebagai jaksa pada saat menerima barang atau uang dari seseorang segera melaporkannya ke KPK.
"Langsung melaporkan, nanti akan dikaji oleh ikasih masukan oleh KPK. Ini masukanya gratfikasi karena ada kepentingan untuk.
Saat ditanya, bagaimana dengan pemberian ongkos biaya haji untuk PNS yang sumber dananya dari APBD, apakah itu bisa masuk gratifikasi?
"Oh Haji Abidin (Atas Biaya Dinas). Nah itu nanti kajiannya lebih dalam lagi. Intinya, pengeluaran APBD itu ada dasarnya nga?, soalnya setiap pengeluaran uang negara itu harus ada dasarnya,"jawab Ali.
Dijelaskan Ali, apabila sudah di anggarakan dalam suatu anggaran atas kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Dari sisi prosesnya sudah bener artinya itu adalah sebuah keputusan, kebijakan dari daerah untuk Haji Abidin tadi.
"Nah kalau seperti itu nanti kajiannya tidak bisa di pidanakan,"imbuhnya.
Lain soal kalau begini lanjutnya, pada saat akan menentukan siapa siapa saja yang akan diberangkatkan terjadi kongkalingkong atau ada kepentingan lain.
"Misalnya begini tahun ini ada 10 kuota pejabat yang harus haji, nama pejabatnya si itu ini. Kemudian ketika diurus menganggarkan ada kongkalingkong kepentingan lain. Misal legislatif dan eksekutif mengusulkan nama ada kepentingannya, nah yang seperti itu bisa masuk gratifikasi,"bebernya.
Menurutnya, kalau memang ada aturannya untuk TPHD lalu prosesnya tidak sesuai dengan prosedur atau aturan tersebut, secara itu akan aneh buat masyarakat.
"Jadi kalau memang secara materi kebijakannya ditempuh secara benar sesuai prosedur aturan, memang hasil keputusan eksekutif dan legislatif ya itu tidak bisa dipidanakan,"pungkasnya. (Nuk)
- Perawat Konsumsi Susu Kadaluarsa, AMPUH Minta Supllier dan Pengelola Bertanggungjawab
- Sidang RM, Dua Motivator Nasional Berikan Kesaksian Meringankan dan Sebut Goblok Kalau Itu Memang Terjadi
- Pisah Sambut Kapolres Cianjur Berlangsung Khidmat dan Haru
- Ditanya Sudah Lapor KPK Soal Penerimaan Fasilitas Haji, Ini Jawaban Kajari
- Golkar Belum Pastikan Soal Balon Cabub Cianjur, Tb Mulyana Masih Proses Tahapan DPP
- Minim Pengawasan, Mayoritas Umur Betonisasi Jalan Tak Sampai Setahun
- Tatapan Tajam RM, Kuasa Hukum Ngotot Akan Hadirkan Saksi Ahli Hukum Pidana