Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Pasar Bojong Meron dan Luka Rakyat Cianjur

Pasar Bojong Meron dan Luka Rakyat Cianjur

Foto : Kericuhan aparat dengan pedagang saat penertiban pasar Bojongmeron, Kabupaten Cianjur


Maharnews.com- Di Cianjur, ada sebuah luka yang tak selalu tampak di mata. Namanya Bojong Meron.

Di sanalah, pada pagi yang basah atau siang yang bising, rakyat kecil menggantungkan hidup.

Dari gerobak sederhana, mereka menjual sayur, buah, dan harapan. Suara mereka sering tenggelam di antara deru kendaraan dan wacana pembangunan.

Bojong Meron dulu direncanakan sebagai ruang publik: tempat warga beristirahat dari hiruk pikuk kota. Tapi waktu, dan mungkin juga kekuasaan, mengubahnya.

Lapak-lapak tumbuh tanpa rencana, dan di antara tenda biru itu, kota seperti kehilangan arah. Lalu datanglah kata yang sudah terlalu sering kita dengar: penataan. Kata yang terdengar indah di bibir pejabat, tapi getir di telinga pedagang.

Ketika pemerintah memutuskan merelokasi mereka ke Pasirhayam, sebagian rakyat merasa seperti kehilangan rumah. “Demi ketertiban,” kata pemerintah. Tapi ketertiban macam apa yang menghapus hidup dari peta?

Filsuf Henri Lefebvre pernah menulis, ruang bukanlah benda mati ia adalah produk sosial. Di Bojong Meron, ruang itu lahir dari tangan rakyat yang bekerja, dari tawa dan peluh mereka setiap hari. Jika ruang itu dihapus, berarti sebagian kehidupan ikut terhapus.

Namun kekuasaan sering tak sabar. Ia lebih suka ruang yang bersih dari kekacauan, daripada kota yang penuh keberagaman. Padahal, seperti pasar, kehidupan selalu berantakan. Di sanalah keindahannya.

John Rawls suatu kali bicara tentang keadilan sebagai keberpihakan pada yang paling lemah. Tapi dalam pembangunan kita, yang lemah justru sering menjadi yang paling mudah disingkirkan. Di Cianjur, mereka tak menuntut banyak: hanya tempat untuk hidup, bukan belas kasihan.

Setiap kali saya melintasi Bojong Meron, saya merasa seperti melintas di antara dua dunia yang satu ingin menata, yang lain ingin bertahan. Di antara keduanya, rakyat kecil berdiri paling rapuh. Tapi dari wajah-wajah mereka, kita belajar arti kesabaran yang mungkin tak dimengerti oleh kekuasaan.

Bojong Meron bukan sekadar pasar. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita sendiri: wajah sebuah kota yang sedang mencari makna keadilan di tengah pembangunan yang berlari terlalu cepat.

Mungkin, pada akhirnya, kota yang baik bukanlah yang paling tertib, tapi yang paling mampu menampung kesemrawutan manusia dengan kasih.

Dan mungkin juga, luka rakyat di Bojong Meron hanya akan sembuh bila pemerintah belajar menata bukan hanya ruang, tapi juga hati.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE