Kapolres Cianjur Mengaku Belum Pernah Ada Anggota yang Minta Ijin Berpoligami

Kapolres Cianjur Mengaku Belum Pernah Ada Anggota yang Minta Ijin Berpoligami

Foto : Kapolres Cianjur AKBP Moch Rifai bersama Ketua DPRD Cianjur, Ganjar Ramadhan saat bersilaturahmi ke kantor PWI Cianjur, Kamis (5/5/2021).


CIANJUR.Maharnews.com- Kapolres Cianjur AKBP Moch Rifai mengaku sama sekali belum pernah menerima permohonan atau izin dari anggota yang mau menikah lagi alias berpoligami. 

Hal tersebut dikatakan orang nomor satu di jajaran Polres Cianjur itu saat menjawab konfirmasi Maharnews.com terkait penerapan PP 45 tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian PNS di lingkungan Polres Cianjur.

Kapolres mengungkapkan, dilingkungan  anggota polisi tidak ada istilah nikah dua kali. Lain soal kalau pasangannya meninggal atau cerai, itu boleh mengajukan untuk menikah lagi.

"Kalau dia sudah punya istri lalu menikah lagi atau poligami maksudnya, nah itu tidak boleh,"tegas Kapolres saat ditemui di halaman kantor PWI Cianjur, Kamis (6/5/2021).

Saat ditanya apakah selama ini sudah pernah ada anggota yang meminta izin?

"Tidak pernah ada, mana ada yang berani,"kata Kapolres sambil tersenyum simpul.

Sebagai informasi; 

Prosedur Dan Tata Cara Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI : 


Ketentuan umum tetap mengacu kepada UU. No. 1 Tahun 1974/PP. No.9 Tahun 1975,  Kompilasi Hukum Islam, HIR., PP.No. 10 Tahun 1983/PP No, 45 Tahun 1990 dan Ketentuan-Ketentuan Khusus Perkawinan dan Perceraian Bagi Anggota TNI/POLRI; 

Apabila Pemohon/Gugatan Cerai diajukan oleh anggota TNI (aktif), maka persyaratan administratifnya harus dilengkapi dengan SURAT IZIN untuk melakukan perceraian dari Atasan/Komandan yang bersangkutan, sebagaimana Surat Panglima TNI tanggal 20 Septemberkepada Ketua MARI, tentang perceraian bagi anggota TNI; 

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ingin mengajukan gugatan harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang (atasannya). 

Hal ini merujuk pada Pasal 18 Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri No. 9/2010); 

       Pejabat yang berwenang memberikan izin kawin, cerai dan rujuk antara lain: 

–       Kapolri untuk yang berpangkat Pati, PNS golongan IV/d dan IV/e; 

–       Kapolda untuk yang berpangkat AKBP dan PNS golongan IV/b sampai dengan Inspektur dan PNS golongan III di wilayahnya; 

–       Kapolres Metro/Kapolres/Kapolresta dan Ka SPN untuk yang berpangkat Brigadir dan PNS golongan II kebawah di wilayahnya. 

4.   Pasal 19 Perkapolri No. 9/2010 mengatur bahwa setiap pegawai negeri pada Polri yang akan melaksanakan perceraian wajib mengajukan surat permohonan izin cerai kepada Kasatker (Kepala Satuan Kerja); 

5.   Pelanggaran terhadap Perkapolri No. 9/2010, termasuk melakukan perceraian tanpa seizin atasan, maka akan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 33 Perkapolri No. 9/2010); 

6   .Menurut Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan jika Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melakukan tidak memperoleh izin atau surat keterangan dari pejabat, maka akan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS (“PP No. 30/1980”). Adapun hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP No. 30/1990 mencakup: 

a.penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; 

b.pembebasan dari jabatan; 

c.pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan 

d.pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. 

7.Apabila Permohon/Gugatan Ceraibelum dilengkapi dengan SURAT IZIN, Majelis Hakim menunda persidangan dan memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk mengurus/menyelesaikan izin tersebut ke atasan/komandannya; 

8.Penundaan persidangan maksimal 6 bulan (Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 10 Tahun 1983; 

9.Apabila penundaan telah berjalan 6 bulan, namun yang bersangkutan belum memperoleh izin dari atasan/komandannya), apabila yang bersangkutan tetap hendak melanjutkan perkaranya tanpa SURAT IZIN dari atasan/komandannya, maka (“demi” perlindungan hukum atas majelis hakim), maka yang bersangkutan harus/wajib membuat SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENERIMA RESIKO akibat perceraian tanpa izin, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan; 

10.Apabila Gugatan/permohonandiajukan oleh ISTERI/SUAMI (Bukan PNS dan Anggota TNI/POLRI), maka: 

a.Isteri/suami tersebut, melaporkan keadaan rumah tangganya kepada atasan/komandan suami dengan rencana gugatan perceraiannya tersebut; 

b.Kalau perkara sudah terdaftar, sementara Majelis Hakim telah mengetahui bahwa Tergugatnya (suaminya) itu adalah anggota TNI/POLRI, maka harus memerintahkan kepada penggugat untuk melaporkan hal tersebut, sesuai maksud huruf (a) di atas;




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE