Menghentikan Anak Menjadi Korban Kejahatan dari Prespektif Islam

Menghentikan Anak Menjadi Korban Kejahatan dari Prespektif Islam

Foto : Ilustrasi


Oleh : Siti Susanti, S.Pd.

Pengajar Asy-Asyifa Bandung

Pengelola Majlis Zikir As-Sakinah

Tindak kejahatan semakin marak dilakukan. Padahal manusia dikaruniai akal, yang dengannya dapat memilih jalan kebenaran atau keburukan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Balad ayat 10, "dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan)."

Namun, manusia malah memilih jalan yang bahkan lebih buruk dari perilaku hewan.

Sebagaimana belakangan ini ramai dalam pemberitaan, terjadi penodaan anak oleh orang dewasa. Dilakukan oleh ustadz di Kota bandung, oleh guru ngaji di Depok, dan oleh guru agama di Tasikmalaya. Sementara di Majalengka oleh tetangga dekat korban. 

Ironis, perbuatan keji tersebut dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang agama. Padahal seharusnya mereka sebagai sosok yang mendidik dan memberikan rasa aman. 

Dalam kehidupan sekuler saat ini, tata aturan Pencipta sudah banyak ditinggalkan. Hal-hal yang bertentangan semakin banyak berseliweran. Akibatnya, iman yang rapuh mudah goyah, terjerumus kepada perbuatan yang melanggar perintahNya.

Ironisnya, atas nama kebebasan, jika dilakukan atas suka sama suka, tidak dianggap sebagai kejahatan. 

Di tambah lagi, sekulerisme menjadikan agama hanya difahami sebatas aturan dalam ibadah ritual. Adapun kehidupan sehari-hari, menggunakan tolok ukur berdasar pertimbangan akal manusia yang serba terbatas. 

Padahal, agama sejatinya bukan sekedar mengatur tata cara ibadah kepada Pencipta, namun juga sebagai tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. (KBBI)

Maka wajar, ketika agama diabaikan, oleh siapapun dia baik kyai, ustadz, pedagang, guru, pegawai, dan lain-lain, baik perempuan maupun laki-laki, akan mengakibatkan kejahatan bermunculan, termasuk kejahatan seksual. 

Lebih parahnya, anak-anakpun menjadi korban. Padahal mereka adalah generasi aset masa depan. 

Menilik kepada Islam, penyimpangan seksual dalam Islam terkatagori fahisyah, semisal  zina, lesbianisme dan homoseksual, serta berbagai bentuk penyimpangan seksual lainnya. Ia adalah sesuatu yang sangat menjijikkan, dan terkatagori jarimah (kejahatan). 

Sebagai agama yang kafah (sempurna), Islam menjamin terjaganya masyarakat dari kejahatan yang marak di tengah kehidupan mereka. 

Hal ini dikarenakan, agama tidak hanya dijadikan sebagai urusan pribadi masing-masing, tapi mewujud berupa sistem kehidupan, yang menyangkut pribadi, masyarakat, hingga negara. 

Dalam ranah pribadi, Islam memuliakan manusia baik ia laki-laki, wanita, bahkan anak-anak. Diantaranya dengan aturan-aturan berikut ini:

  1. Wajib atas laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan, sebagaimana diatur dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 30-31. Menundukkan pandangan di sini yaitu terhadap aurat dan hal-hal nyang dapat mengundang syahwat. 
  2. Wajib  atas perempuan muslimah untuk mengenakan pakaian sempurna, sebagaimana dijelaskan dalam Surat An-nur ayat 31 dan Al-ahzab ayat 59.
  3. Larangan bagi laki-laki berkhalwat (bersepi-sepi) dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW, "Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali disertai mahramnya."
  4. Pemisahan kelompok perempuan dan laki-laki, sebagaimana halnya dalam shaf salat. 
  5. Hubungan tolong menolong antara pria dan wanita sebatas dalam bidang muamalah, seperti perdagangan, pendidikan, pengobatan, dan pengadilan.

Dalam ranah masyarakat, Islam menjadikan kewajiban untuk berdakwah, saling memberi nasihat dan beramar ma'ruf nahyi mungkar. 

Dalam ranah negara, Islam menjadikan negara sebagai junnah (perisai) di tengah masyarakat. Di pundaknyalah syariat Islam efektif diberlakukan. 

Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah adalah jilid, sebagaimana firmanNya, "perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah. ” (TQS an-Nur [24]: 2).

Adapun bagi yang sudah menikah adalah dengan hukuman rajam, sebagaimana sabda Nabi SAW, “dan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah jilid seratus kali dera dan rajam”.

Hukuman bagi pelaku kemaksiatan zina tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus didetailkan kasusnya oleh kadi (hakim) yang berwenang, harus ada saksi dan seterusnya. 

Semua bentuk hukum Islam ditegakkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir) orang lain melakukan pelanggaran serupa agar jera. Semua ini adalah bentuk penjagaan Islam yang paripurna terhadap generasi masyarakat.

Demikianlah, semua pihak seharusnya mulai berbenah diri membentengi anak dan generasi agar terhindar dari perbuatan keji. Dan penerapan hukuman yang adil bagi pelaku kejahatan tampaknya harus segera dilakukan, agar dapat memutus kejahatan khususnya kepada anak di masa depan. 




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE