Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Mertua Tiada Cianjur di Persimpangan Kuasa?

Mertua Tiada Cianjur di Persimpangan Kuasa?

Foto : Ilustrasi Mahar


CIANJUR.Maharnews.com- Meninggalnya sang mertua Bupati Cianjur bukan hanya peristiwa keluarga, tapi juga momen politik penting.

Selama ini, publik Cianjur mengenal tokoh tersebut bukan sekadar kerabat, tapi juga sebagai figur kuat di balik kekuasaan.

Banyak keputusan strategis dan arah kebijakan diduga tak lepas dari pengaruhnya. Terutama sektor keagamaan. 

Kini, setelah tokoh sentral itu tiada, muncul pertanyaan besar: siapa yang memegang kendali?

Dalam teori patron-klien, hubungan kekuasaan di daerah sering dibangun bukan atas dasar program atau visi, melainkan pada loyalitas pribadi dan balas jasa. Patron (dalam hal ini sang pengendali kuasa) menyediakan akses terhadap sumber daya, dan para klien (pejabat, pengusaha, politisi) membalas dengan dukungan dan kesetiaan. Ketika patron itu menghilang, maka struktur relasi bisa retak atau mencari pengganti.

Apakah Bupati Wahyu kini mengambil alih penuh kendali itu? Jawabannya belum jelas.

Di satu sisi, ini peluang baginya untuk membuktikan diri sebagai pemimpin sejati bukan hanya "bupati pajangan" seperti yang sering digaungkan di warung-warung kopi.

Tapi di sisi lain, jika relasi kekuasaan yang dibangun sang mertua terlalu dalam dan bercabang, maka akan sulit bagi Wahyu untuk sekadar menggantikan peran tersebut.

Ia harus menciptakan loyalitas baru yang berakar pada kepercayaan personal dan kapasitas kepemimpinan.

Sosiolog Max Weber menyebut salah satu bentuk kekuasaan sebagai otoritas karismatik, yaitu kekuasaan yang lahir dari kepercayaan rakyat terhadap kualitas pribadi pemimpinnya.

Jika Wahyu ingin lepas dari bayang-bayang, maka ia harus membangun basis karismatik itu: memimpin dengan gagasan, ketegasan, dan integritas.

Namun hingga kini, publik belum melihat perubahan berarti. Rotasi jabatan masih didominasi oleh nama-nama lama.

Proyek infrastruktur masih menyasar tempat-tempat yang "itu-itu saja". Dan yang lebih mencolok, kepercayaan publik terhadap Pemerintah Kabupaten Cianjur terancam tergerus.

Meninggalnya sang mertua seharusnya menjadi titik balik. Tapi tanpa keberanian politik untuk memutus lingkaran lama dan membangun tata kelola baru, Cianjur bisa saja terjebak dalam transisi yang semu. Seolah berubah, padahal hanya mengganti pemain bukan sistem.

Rakyat Cianjur berhak menuntut lebih dari sekadar pemimpin semu. Mereka butuh kepemimpinan yang mandiri, bukan yang masih tergantung pada bayang-bayang.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE