Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Nyanyian Sunyi Para Pengangguran di Cianjur

Nyanyian Sunyi Para Pengangguran di Cianjur

Foto : Ilustrasi Mahar


Di Cianjur, jalan raya selalu ramai, pasar selalu sesak, dan sawah masih membentang. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, ada sunyi yang kerap tidak terdengar: sunyi para penganggur. Anak-anak muda yang lulus SMA, kuliah, bahkan pesantren, kembali ke rumah tanpa kepastian. Mereka menunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang, atau menimbang nasib sebagai buruh migran.

Di mimbar-mimbar resmi, Bupati Wahyu pernah berjanji: membuka lapangan kerja, menghadirkan investasi yang ramah rakyat, memberi peluang bagi anak muda desa.

Janji itu indah, terdengar seperti doa pembangunan. Tetapi waktu berjalan, dan janji sering kali tinggal gema. Pabrik memang berdiri, proyek memang datang, tetapi tidak semua menyerap tenaga kerja lokal. Sawah hilang, jalan terbentang, namun pengangguran tetap menghantui.

Gramsci menulis tentang hegemoni: bagaimana kekuasaan tidak hanya memerintah lewat aparat, tapi juga lewat keyakinan yang tertanam. Di Cianjur, keyakinan itu sederhana: bahwa pembangunan otomatis membuka kerja. Bahwa industrialisasi adalah jawaban. Bahwa anak muda cukup menunggu, lalu kesempatan akan tiba.

Namun, kenyataan berkata lain. Statistik pengangguran dibacakan dalam rapat resmi, tetapi wajah-wajah penganggur tidak hadir di sana. Mereka ada di beranda rumah, di pos ronda, di pinggir jalan menatap lowongan yang tak kunjung cocok.

Di tengah sunyi itu, lahirlah kontra-hegemoni kecil. Pemuda yang memilih bertani organik, komunitas yang membangun usaha kreatif, koperasi yang menolak mati. Mereka menolak menunggu janji, mereka membangun jalannya sendiri. Inilah akal sehat baru, seperti kata Gramsci, yang perlahan menggantikan keyakinan lama.

Namun itu belum cukup. Bupati Wahyu harus ditagih, sebab janji bukan sekadar retorika, melainkan utang politik. Utang yang harus dibayar dengan kebijakan nyata: pelatihan kerja yang tepat, dukungan usaha mikro, perlindungan petani, hingga ruang bagi wirausaha muda desa.

Cianjur butuh lebih dari sekadar angka dalam dokumen perencanaan. Ia butuh blok historis: persatuan petani, buruh, guru, ulama, dan pemuda, yang bersama-sama menagih janji pemimpinnya. Sebab pengangguran bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah martabat.

Mungkin suara itu masih lirih. Tetapi kelirihan bisa tumbuh menjadi nyanyian besar. Dan nyanyian sunyi para pengangguran di Cianjur, cepat atau lambat, akan sampai ke pendengaran Bupati Wahyu.

Sebab janji tidak bisa selamanya menjadi bayangan. Pada waktunya, ia harus ditebus dengan kenyataan.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE