Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Kejagung Pertegas Penerimaan Fasilitas Haji Daerah Dilarang

Kejagung Pertegas Penerimaan Fasilitas Haji Daerah Dilarang

Foto : Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cianjur



CIANJUR. Maharnews.com – Perdebatan gratifikasi atau tidak saat pegawai Kejaksaan menerima  fasilitas haji, umroh atau kegiatan ibadah keagamaan lainnya ke luar negeri akhirnya mendapatkan titik terang. Meski tidak secara eksplisit, namun dipastikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) hal tersebut dilarang.

Setelah beberapa kali memvalidasi, berdasarkan informasi yang masuk ke redaksi maharnews diketahui di pertengan bulan Mei 2020, Kejagung membuat surat yang ditujukan ke seluruh pegawai kejaksaan di daerah. Di dalamnya secara tegas terdapat empat poin utama yang wajib dipatuhi, dua poin terkait larangan dan dua poin lainnya berbentuk pedoman yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.

Poin kesatu dan kedua secara tegas melarang seluruh jajarannya menerima fasilitas haji, umroh atau kegiatan ibadah keagamaan lainnya ke luar negeri dan wajib menolak tawaran menjadi Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) yang anggarannya berasal dari  Pemerintah Daerah (Pemda).

Poin keempat, bagi jajaran Kejaksaan yang terlanjur menerima harus mengembalikan fasilitas yang diterimanya, serta wajib melaporkan hal tersebut ke pimpinannya secara berjenjang.

Meski begitu, dalam surat larangan itu tidak diperjelas apakah hal itu termasuk gratifikasi atau bukan. Sanksi bagi pelanggar pun tidak disebutkan dalam surat tersebut. 

Tindakan tegas Kejagung ini jelas menjadi langkah terbaik dalam perbaikan citra Kejaksaan di daerah, terutama di Kabupaten Cianjur. Pasalnya, sebelum adanya surat tersebut perdebatan demi perdebatan terus berlangsung dan berpotensi menjadi jebakan bagi sang penerima tawaran. 

Terlebih penerimaan fasilitas haji atau yang lebih dikenal dengan Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD) Kabupaten Cianjur oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan istrinya menjadi topik utama pemberitaan di maharnews. Perkembangan informasi terkait hal itu menjadi prioritas tersendiri.

Fokus pada gratifikasi, dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia (RI)  nomor 3 tahun 2019 tentang pengendalian gratifikasi di lingkungan kejaksaan RI yang diundangkan pada tanggal 3 Mei 2019, disebutkan definisinya. Pada pasal 1 ayat 4 disebutkan gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Masih di dalam peraturan tersebut, yaitu pasal 9 ayat 5 dijelaskan ada 17 item yang tidak termasuk dalam gratifikasi. TPHD yang merupakan fasilitas haji dari Pemda tidak terdapat dalam pengecualian itu. 

Pada peraturan itu juga terdapat penjelasan terkait  perlindungan dan penghargaan bagi pelapor adanya gratifikasi. Tetapi hal itu sebatas pada pelapor yang merupakan jajaran atau pegawai Kejaksaan.

Sebagai pembanding fasilitas haji termasuk gratifikasi atau bukan, sumber lainnya menjadi referensi, yaitu dalam artikel tanya jawab  gratifikasi di laman resmi inspektorat provinsi Jawa Barat (http://inspektorat.jabarprov.go.id/tanya-jawab-gratifikasi/). Pada sub judul ‘Apa Saja Contoh-Contoh Kasus Gratifikasi’ disebutkan pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi. 

Dikutip dari laman itu, penjabaran tentang gratifikasi berpedoman pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001. Berikut contoh gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:

  1. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
  2. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
  3. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
  4. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
  5. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
  6. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  7. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

Dari tujuh contoh diatas fasilitas haji termasuk dalam gratifikasi yang kerap terjadi. Namun si pemberi bukanlah Pemda tetapi rekanan. 

Sedikit menyimpulkan, kata rekanan pada contoh diatas tidak dibatasi, sehingga kemungkinan besar Pemda dapat dikategorikan sebagai rekanan. Karena Pemda (eksekutif) dan Kejaksaan (yudikatif) termasuk dalam empat pilar demokrasi yaitu Lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Kebebasan Pers. Tidak ubahnya antara media dengan yudikatif atau eksekutif yang berfungsi sebagai mitra atau rekanan.

Merangkum penjelasan sebelumnya, dari adanya surat larangan Kejagung dan contoh gratifikasi yang kerap terjadi, dapat diartikan pemberian fasilitas haji oleh Pemda ke pegawai kejaksaan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. 

Sebenarnya ada cara agar si penerima tidak bermasalah dengan hukum jika diduga menerima gratifikasi. Hal itu disebutkan dalam pasal 12C UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, yaitu:

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
  3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
  4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam aturan itu jelas ada batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Sedangkan hasil wawancara dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) diketahui pengembalian dana ke kas daerah terkait soal dana haji terjadi pertengahan bulan Januari 2020 dengan besaran Rp70 juta perorang.

Perbedaan kedua, pada ayat 3, terkait menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara tidak berlaku di kasus TPHD. Pasalnya dari awal uang itu sudah menjadi milik negara bukan pribadi, tetapi kemudian diganti oleh pribadi masing-masing dan kembali menjadi milik negara.

Kesimpulan akhir, guna menghindari kejadian serupa terulang, perlu adanya kajian mendalam oleh Pemda Kabupaten Cianjur guna menetapkan penerima fasilitas haji atau TPHD. Nantinya, hasil kajian akan dituangkan dalam perbaikan peraturan daerah (Perda) terkait TPHD sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

(wan)





Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE