Pilih Dunungan, Hutang Jasa atau Baturan Deukeut di Negeri Tutur Satir
Foto : Ilustrasi (wan)
CIANJUR. Maharnews.com - Suasana di negeri Sagalacaang, akhir-akhir ini begitu berair. Hujan berkali kali datang, seakan turut meramaikan panasnya kondisi politik di negeri yang juga berjuluk negeri Tutur Satir
Ya, maklum saat ini di Sagalacaang sedang masa kampanye bagi pasangan calon pemimpin. Ada tiga paslon yang berebut simpati dan suara rakyat.
Pagi ini, langit yang sedikit berawan menjadi pemandangan normal di Sagalacaang, maklum, kemarin dari sore hingga malam hujan mengguyur. Alhasil, sawah ladang dan tanaman turut basah, berbeda dengan kantong yang masih kering, dan kemarau yang tak kunjung usai.
Seperti biasa, Maharan mulai bersiap mengarungi hari dengan landasan Suudzon Khotimah. Langkah pasti, ia mengarahkan kaki ke arah kantin pegawai.
Tak berselang lama, Maharan sampai di kantin, pesan kopi hideung nu teu dikocek dan sepiring bala-bala haneut. Mengisi meja kosong di pojokkan kantin, ia mulai beraksi mengeluarkan berbagai jurus mengatasi panasnya bala-bala.
Masih ada setengah jam, sebelum waktu pegawai mulai bekerja. Mang Aesen terlihat berjalan lemah, letih, lesu dan lalai memasuki kantin. Seakan sudah diprogram dan memiliki radar canggih, meski tatapannya mengarah ke lantai, namun langkah kakinya berjalan otomatis ke arah Maharan dan langsung duduk di kursi kosong di depan Maharan.
"Bisa kitu mang, padahal ti tadi teu nempo, tapi suku jeung bujur siga boga remote, bisa pas kitu mang?," tanya Maharan heran melihat kelakukan pegawai teladan di negeri Segalacaang.
Suara Maharan menyadarkan mang Aesen dari lamunannya. Ia sendiri heran melihat Maharan didepannya, ia menengok ke kiri dan ke kanan seakan masih tak percaya.
"Huuh nya, rarasaan tadi masih keneh di motor, naon jadi di kantin?," Mang Aesen balik bertanya.
"Waduh..!!, untung selamet keneh mang. Tong ngelamun ari mawa kendaraan mah, bisi cilaka. Nya lamun cilaka sorangan, lamun batur kabawa kumaha...," Maharan mencoba memberikan nasehat terbaiknya, sembari melahap bala-bala haneut dan menyeruput kopi hitam menambah syahdu suasana pagi.
"Mantap.....," celetuk Maharan tanpa sadar menikmati sarapannya.
Mendengar nasehat Maharan seakan tersadar, Mang Aesen tanpa sadar tangannya mengambil bala-bala haneut dalam piring yang tersisa tiga buah, dan melahapnya tanpa basa basi. Mata Maharan yang dari tadi mengikuti bala-bala haneut yang yang berakhir di mulut Mang Aesen hanya bisa melotot takjub.
Tatapan mata tajam Maharan, sepertinya tak berdampak apapun bagi Mang Aesen, sembari mengunyah, ia memulai obrolan.
"Tong popolotot atuh, dukung paslon nu mana iye kanggo pemimpin urang ayena?," tanyanya ke Maharan.
"Can aya pilihan ayena mang, masih keneh timbang menimbang. Kin weh ngantosan fajar terakhir saat pencoblosan, sugan aya ilham," jawab Maharan sembari mengambil bala-bala haneut di piring yang tersisa dua buah.
"Saha si Ilham teh?, asa bijak, bisa mere masukan kitu," timpal Mang Aesen sembari menguyah bala bala.
"Hadeuh...," gumam Maharan sembari nepak tarang.
"Emang kunaon Mang?, asa katingal pisan bingung na?," Maharan balik bertanya.
Mang Aesen menghela nafas mendengar pertanyaan. Ia mengaku bingung siapa yang harus dicoblos pada pemilu kali ini. Pasalnya setiap calon mempunyai hubungan baik dengan dirinya.
"Nu pertama dunungan gawe, nu kadua urang boga hutang jasa, ari nu katilu baturan deukeut nu biasa ngabantuan lamun aya kasusah. Bingung teu..?," ucapnya dengan ekspresi wajah pasrah.
"Eta nu nyieun rieut sirah mah. Sugan boga kenalan jalmi bijaksana nu bisa mere masukan," tanya Mang Aesen ke Maharan.
"Tapi tong siga Abah Benteng, liuer 3 bulanen urang, kapok ka jalmi pinter," tambahnya sembari malotot ke Maharan.
Mendengar pertanyaan tersebut, Maharan salah tingkah, sembari senyum terpaksa. Namun terkait jelema bijak, Maharan teringat dengan perkataan Mbah Kincir agar memilih sesuai hati nurani.
"Saur Mbah Kincir, pilih berdasarkan hate nurani mang. Te kudu pusing, Kabeh tos aya takdirna. Tinggal Amang timbang nu mana paling cocok kanggo memimpin, sanes ku embel embel nu deukeut, komo serangan fajar," terang Maharan seakan dirinya menjadi jelema Bijaksana.
"Tumben maneh bijak, Maharan. Mbah Kincir nyak, pernah nguping namina euy," celetuk Mang Aesen.
"Alus nasehat na Mbah Kincir, bisi tepang jeng Mbah Kincir, Haturnuhun nasehat na," ungkapnya dengan semangat yang berbeda dengan sebelumnya.
Mang Aesen berdiri dari kursi dan terlihat lebih semangat. Ia berjalan menuju keluar pintu kantin sembari melihat ke arah Bi Onam sang pemilik kantin sembari tersenyum.
"Eta tagihan Maharan urang nu mayar Bi," teriaknya sembari menunjuk ke arah meja Maharan.
"Nuhun Mang," timpal Maharan dengan senyuman lebar mendapatkan sarapan gratis. (wan)
- Dinkes Gelar Gerakan Nasional Aksi Bergizi
- Berlahan Luas, Puskesmas Diwajibkan Memiliki Taman Lansia
- Pentingnya Peran Bidan di Masyarakat
- Dinkes Cianjur Siap Tuntaskan Pelayanan Sejuta Akseptor KB
- Gelar Apel Patroli Pengawasan, Bawaslu Pastikan Tidak Ada Kampanye di Masa Tenang
- Dugaan Pungli di Program BSPS Cianjur
- Penanganan Kasus Tambang Ilegal Cianjur Disorot Prabhu : Agak Janggal