Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Biong: Perantara yang Mematikan Keadilan Tanah

Biong: Perantara yang Mematikan Keadilan Tanah

Maharnews.com- Di banyak kampung, sebelum perusahaan datang membeli tanah, para biong sudah lebih dulu hadir. Mereka bukan pejabat, bukan investor, tetapi justru merekalah yang menentukan siapa menjual, berapa harga, dan kepada siapa tanah itu akan jatuh.

Biong adalah wajah tak resmi dari mafia tanah. Mereka bekerja di wilayah abu-abu: tidak tercatat dalam dokumen, tapi nyata kuasanya di lapangan. Dengan gaya bicara meyakinkan dan kedekatan sosial dengan warga, mereka menjadi jembatan yang licin antara pemilik tanah kecil dan pemodal besar. Tak jarang oknum aparat desa yang turut terlibat.

Modus mereka sederhana tapi mematikan: membangun kepercayaan, menebar kabar, lalu menekan harga. Kadang dengan dalih pembangunan, kadang dengan ancaman halus. Tak jarang mereka menakut-nakuti warga dengan isu “tanah ini akan diambil pemerintah” atau “proyek besar akan masuk, kalau tidak dijual sekarang nanti rugi”.

Dalam satu transaksi, biong bisa meraup keuntungan berkali lipat dari selisih harga jual. Tapi yang lebih parah dari uang itu adalah kerusakan sosial yang mereka tinggalkan. Warga yang dulu rukun berubah curiga satu sama lain, kampung yang dulu subur berubah jadi lahan kosong menunggu alat berat datang.

Biong hidup karena ada ruang. Ruang itu tercipta dari lemahnya literasi hukum masyarakat, ketimpangan informasi agraria, dan sikap negara yang abai pada perlindungan tanah rakyat. Ketika negara hanya sibuk mengurus sertifikat tanpa mengawasi praktik jual beli di lapangan, biong tumbuh subur seperti rumput liar di musim hujan.

Biong bukan sekadar makelar, mereka adalah arsitek sunyi dari ketimpangan agraria. Di tangan mereka, tanah berubah dari sumber kehidupan menjadi komoditas semata. Petani yang puluhan tahun menggarap tanah bisa kehilangan semuanya hanya karena satu tanda tangan di bawah bujukan manis.

Sudah saatnya negara memandang fenomena biong sebagai ancaman serius terhadap keadilan sosial. Perlindungan tanah rakyat tidak cukup dengan program sertifikasi atau legalisasi, tetapi juga perlu penertiban praktik perantara gelap dan edukasi hukum tanah di tingkat desa.

Karena selama biong masih bebas berkeliaran, setiap jengkal tanah rakyat akan selalu berisiko berpindah tangan bukan karena kebutuhan, tapi karena kelicikan.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE