Ngopi Sembari Update Informasi - Berita

Air yang Tak Lagi Mengalir

Air yang Tak Lagi Mengalir

Foto : Ilustrasi


Maharnews.com- Di Cianjur, air pernah menjadi doa. Ia menetes dari kabut di punggung Gede-Pangrango, menyusuri batu dan lumut, lalu masuk ke sumur-sumur dangkal di halaman rumah. Orang dulu menimba sambil berzikir. Air datang tanpa izin, tanpa merek, tanpa harga.

Tapi kini air berjalan dengan bising. Diangkut oleh truk, disaring oleh mesin baja, dan dijual dalam botol bening. Aqua. Le Minerale. Dua nama yang seakan menegaskan bahwa bahkan sesuatu yang paling suci pun bisa dikomoditaskan dijadikan bisnis, dijauhkan dari makna asalnya.

Mungkin kita tak lagi bertanya dari mana air itu diambil. Dari lapisan tanah dalam, dari sumber yang sama yang dulu memberi hidup pada sawah dan huma. Tapi begitu air dikemas, ia berubah jadi benda asing. Kita meneguknya tanpa rasa bersalah, tanpa ingat bahwa di suatu desa, ada sumur yang kini kering.

Cianjur, seperti banyak tempat lain, sedang mengalami perang yang tak terlihat.

Bukan antara manusia dan manusia, tapi antara ingatan dan kepentingan. Antara keyakinan bahwa air adalah milik bersama, dengan keyakinan baru bahwa segala yang mengalir bisa dijual asal ada izinnya.

Di zaman ini, air tanah bukan lagi bagian dari bumi, melainkan bagian dari neraca keuangan. Ia ditimbang dalam liter, dihitung dalam laba, disedot dengan izin yang sah. Tapi apa yang sah di atas kertas belum tentu sah di dalam nurani.

Vandana Shiva menulis tentang Water Wars, perang air yang dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan kebijakan. Ia benar. Perang ini sunyi, tapi nyata. Dan seperti semua perang, yang paling menderita adalah mereka yang tak ikut menandatangani perjanjian.

Barangkali kita masih akan berkata, “Itu hanya air dalam botol.” Tapi setiap botol adalah kesaksian. Tentang sumur yang menipis. Tentang sawah yang menunggu hujan. Tentang manusia yang perlahan kehilangan hak paling purba: untuk meneguk kehidupan tanpa membayar.

Air dulu mengalir sebagai rahmat. Sekarang ia mengalir sebagai komoditas. Dan di antara keduanya, ada jarak yang semakin dalam, sedalam sumur yang terus kita gali, dengan harapan masih ada sisa yang belum diambil pabrik.




Tulis Komentar Facebook

Komentar Facebook

Bijaksana dan bertanggung jawablah dalam berkomentar, karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE