THR Buruh, Akankah Para Buruh Sejahtera?
Foto : Ratusan buruh menggeruduk Gedung Sate, Senin (12/4/2021). Mereka mendesak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk mengingatkan pengusaha agar membayar THR tepat waktu secara penuh dan tanpa dicicil. [Sumber: Suara.com/ M Dikdik RA]
Oleh: Tawati
Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Has (Sumberjaya - Kabupaten Majalengka)
Beberapa pengusaha di tahun ini masih merasakan tekanan akibat pandemi covid-19. Bahkan beberapa diantara pengusaha sudah melakukan perampingan jumlah pekerja untuk mempertahankan bisnisnya. Di tengah kondisi ini, para pekerja yang masih bertahan masih belum mendapat kepastian, apakah upah atau gaji THR mereka akan dibayarkan sebelum hari raya tahun ini atau dicicil.
Di Jawa Barat ratusan buruh pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (12/4) lalu. Mereka mendesak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk menyurati pengusaha agar membayar tunjangan hari raya (THR) Lebaran tahun ini secara penuh.
Buruh yang turun aksi kali ini berasal dari sejumlah daerah seperti Bandung Raya, Cianjur hingga Purwakarta. Selain minta THR dibayar penuh, buruh juga mendesak agar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2011 Cipta Kerja (UU Ciptaker) dicabut. (Suara Jabar.Id, 12/4/2021)
Fakta Ketenagakerjaan
Di Tanah Air regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja.
Acapkali dengan dukungan negara, para pengusaha kapitalis berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi keuntungan perusahaan. Praktik-praktik seperti itu sudah lazim di negara-negara kapitalis.
Para pengusaha kapitalis yang rakus akan membuka usaha di negara-negara berkembang yang memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya-raya, sedangkan buruh menderita.
Padahal untuk kawasan Asia Tenggara, upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan Filipina (142 US$), Laos (140 US$) dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp 2,92 juta perbulan. Jumlah itu tentu jauh dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum di Tanah Air. Jika UU Omnibus Law Cipta Kerja benar merugikan buruh, akan semakin terpuruklah nasib mereka di Tanah Air.
Akar Masalah Perburuhan
Permasalahan buruh memang tak ada habisnya di sistem kapitalisme hari ini. Selalu begitu tanpa ada solusi penyelesaian yang pasti. Bahkan terkesan setengah hati. THR dalam sistem kapitalis hari ini laksana obat bius yang dipakai sesaat. Ketika bius hilang maka akan kembali pedih, perih yang dirasa.
Jika kita kaji, problem buruh ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka saja.
Standar Gaji Buruh dalam Islam
Dalam Islam standar menentukan gaji buruh, adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Jaminan Kesejahteraan Islam
Dalam sistem Islam tak dikenal tunjangan hari raya (THR), namun dipastikan setiap rakyat mendapatkan jaminan setiap kebutuhannya, setiap hari. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Bukan pula sejahtera yang semu dan sesaat.
Pemimpin di dalam Islam bertanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Pemimpin yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat; memberikan lapangan pekerjaan, menjamin kebutuhan hidup seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjaga keamanan mereka. Ia juga akan menertibkan para pengusaha yang berlaku zalim kepada para pekerja mereka. Baginya kesejahteraan rakyat di atas kepentingan para pengusaha.
Jaminan kebutuhan dasar dan sekunder individu warga negara bisa diwujudkan dengan bekerja, bagi pria dewasa yang mampu. Bagi anak-anak, perempuan, orang tua dan kalangan berkebutuhan khusus, jaminan diberikan oleh pria dewasa yang mampu, dan berkewajiban untuk menanggung nafkah mereka. Jika tidak mampu, atau tidak ada keluarga yang bisa menanggungnya, maka kerabat atau tetangga dekat berkewajiban untuk membantunya. Jika tidak ada, maka negara berkewajiban untuk menanggungnya.
Jaminan di atas bisa diwujudkan, jika setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, negara di dalam sistem Islam mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya. Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.
Dengan model jaminan seperti inilah yang benar-benar mengentaskan umat dari jurang kemiskinan dan menghilangkan ketergantungan rakyat. Dengan sistem jaminan kebutuhan seperti inilah mengantarkan kesejahteraan di tengah kehidupan kaum Muslimin dalam naungan Islam. Bukan jaminan kapitalisme yang ibarat mengoleskan balsem. Panas di awal, menguap beberapa saat kemudian.
Alhasil, tuntutan buruh atas THR mereka, telah memperlihatkan kepada kita bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini tidak mampu menyejahterakan para buruh. Buruh terus menerus dizalimi. Berharap pada sistem Kapitalisme yang terbukti gagal menyejahterakan para buruh, masihkah dipertahankan? Hanya sistem Islam yang mampu sejahterakan para buruh.
Wallahu a'lam bishshawab.
- Tingkatkan Peran Media, Para Pemimpin Redaksi Deklarasikan Forum Pemred Cianjur
- Usai Dilaporkan Warga ke Polisi, Giliran Inspektorat Siap Riksus Desa Parakan Tugu
- Diduga Potong Dana BLT DD Covid-19, Oknum Kades Parakan Tugu Dipolisikan
- Nasib 67 Buruh PT SL Terkatung-katung, Di PHK Tak Dapat Hak Pesangon
- Komisi B Minta BPKAD Melakukan Transparansi Anggaran, Ini Jawaban Kepala Badan
- Prasetyo Harsanto : Sektor Parawisata Butuh Perhatian Pemkab Cianjur
- Dinasnya Sering Dapat Panggilan Aparat, Ini Kata Kadistan Cianjur Ahmad Nano